Barru Raya Budaya

Mappadendang dan Sere Api

Mappadenda dan Sere Api adalah pesta rakyat atau pesta panen masyarakat Barru yang diadakan setelah selesai panen setiap tahunnya sebagai ucapan rasa syukur dan terima kasih atas panen yang diberi oleh Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa), Mappadenda berarti berdendang-mendendangkan menggunakan lesung yang dipukul sehingga terdengar suara berirama indah, perhelatan ini sangat populer di kalangan masyarakat Tanete.

Namun, Mappadenda dan Sere Api sudah sangat jarang diadakan masyarakat, hanya sebagian kecil di kecamatan Tanete Riaja, sedangkan di kecamatan Pujananting kita masih bisa menyaksikannya.

Mappadenda untuk tujuan aslinya hanya dilakukan pada malam hari, yakni mulai ketika Labu’ Essoe (setelah matahari terbenam) sampai larut malam (sebelum matahari terbit). Namun perhelatan mappadenda yang bertujuan untuk melestarikan budaya ini dapat dilakukan kapan saja.

Baca juga: Inilah Foto Pertama di Dunia dan Indonesia

Tatacara pelaksanaan Mappadenda sangat panjang, mulai dari menyiapkan lesung panjang dari kayu dan alu yang merupakan peralatan inti pada prosesi Mappadenda.

Lesung panjang dari kayu diikat secara mengantun pada sebuah patok yang sudah ditancapkan di tanah (dibuat sedemikian rupa) agar memiliki suara nyaring ketika dipukul menggunakan alu, kemudian sekeliling lesung ditutup membentuk bilik atau kamar yang terbuat dari anyaman bambu atau janur kelapa, hanya bagian ujung lesung yang berada di luar bilik sementara badan lesung yang lain berada di dalam bilik.

Tak lupa di depan bilik disediakan kayu yang dibakar dan dibaca-baca (dimantra-mantarai) nantinya dijadikan sebagai tempat Sere Api (Tarian Api). Masyarakat dari penjuru tempat pun berkumpul untuk menyaksikan acara Padenda karena pada sore harinya mereka sudah di undang atau diberitahukan bahwa akan diadakan Mappadenda dan Sere Api.

Mappadendang dan Sere Api
Saat prosesi Mappadenda berlansung, tiga orang lelaki (Pakkambo) memukul bagian ujung lesung yang berada di luar bilik menggunakan alu kayu panjang, seorang berada di tengah (sisi ujung lesung) disebut Pappalari Tengnga yang menciptakan nada indah, dan dua orang di Kanan-Kiri sisi ujung lesung sebagai pengiring, ketiganya memukul lesung secara berirama dan menghasilkan musik/suara yang terdengar indah.

Baca juga: Bentuk-Bentuk Kebudayaan Asli Indonesia

Sementara di dalam bilik diisi oleh enam orang wanita atau ibu-ibu yang juga memukul bagian lesung yang berada di dalam bilik menggunakan kayu panjang/bambu (suara yang dikeluarkan tidak terdengar atau tidak mengganggu irama yang dibuat 3 orang lelaki di luar bilik), keenam orang ini disebut Pangngana’.

Jenis suara atau pola pukulan ke lesung yang dihasilkan banyak macamnya, contoh beberapa suara/pola pukulan diantaranya Bonto, Lalo, Gecco’-gecco’, Banjara’, dan masih banyak lagi.

Di tengah aksi 3 orang lelaki yang memukul lesung, sesekali mereka berlari meju bara api yang sudah dimantrai tadi dan menari di atasnya, berguling, bahkan memanggul kayu yang terbakar, inilah yang dinamakan Sere Api (Tarian Api), ada juga yang Mammenca’ (bertarung menggunakan alu) setelah itu mereka kembali memainkan lesung, begitu seterusnya dilakukan secara berulang-ulang sampai prosesi Mappadenda selesai.

Pada acara Mappadendang dan sere api itu disediakan pula Bette (makanan tradisional saat Mappadenda, telah dibuat sebelum Mappadenda dimulai) terbuat dari padi yang dipetik lansung dari sawah kemudian disangrai hingga meletup menjadi seperti Popcorn, selanjutnya Popcorn padi ditumbuk hingga menjadi pipih dan ditampih hingga sisa kulit padi hilang, jadilah Bette yang disuguhkan kepada orang yang hadir menonton Padenda. Selain Bette, ada juga Paserre’, dibuat dari Bette yang dicampur dengan lelehan gula merah.

Mappadendang sere api

Naraumber: Wawancara lansung kepada Akbar (masyarakat kampung Gamoe, Pujananting) yang kampungnya masih sering mengadakan Mappadenda dan Sere Api setiap tahunnya.

2 Komentar

Tuliskan Komentar