Kuno

Pasukan Bugis Memadamkan Pemberontakan Orang Cina di Jawa

Pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda, banyak orang keturunan Tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia (Sekarang Jakarta) oleh Belanda. mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko. Namun sempat terjadi keresahan antara orang Tionghoa dengan Belanda.
Keresahan dalam masyarakat Tionghoa (Cina) dipicu oleh represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula. Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada sebuah pertemuan Dewan Hindia Belanda, badan pemimpin VOC, Guberner Jenderal Adriaan Valckenier menyatakan bahwa kerusuhan apapun yang terjadi dapat ditanggapi dengan kekerasan.

Pernyataan Valckenier tersebut diberlakukan pada tanggal 7 Oktober 1740 setelah ratusan orang keturunan Tionghoa, banyak di antaranya buruh di pabrik gula, membunuh 50 pasukan Belanda. Akhirnya terjadilah pemberontakan Orang-orang Cina, dan berbagai upaya pemerintah Hindia Belanda menghentikan pemberontakan tersebut.

Kekacauan tersebut dikenal sebagai peristiwa Geger Pacinan atau Tragedi Angke. Kekerasan berlangsung di dalam Kota Batavia dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan berbagai pertempuran terjadi di seluruh Pulau Jawa.

Untuk memadamkan Pemberontakan itu, Belanda mengutus beberapa pasukan dari beberapa etnis Pribumi, salah satunya pasukan Bugis asal Sulawesi dibawah pimpinan La Tenrioddang dari Kerajaan Tanete.

Bukan tanpa alasan Belanda menunjuk raja Bugis ini untuk melawan orang Cina, raja La Tenrioddang ini merupakan raja yang gemar Berperang, oleh masyarakat Tanete ia dikenal dengan nama Daeng Matinring atau La Oddangriu, sementara gelar islamnya adalah Sultan Yusuf Fahruddin, masi merupakan keturunan raja Luwu, pernah menjadi raja di Soppeng, bahkan perna mengkudeta raja Bone. Ia juga pernah membunuh iparnya sendiri.

Akibat perilakunya yang suka mencari gara-gara untuk berperang ini sehingga Belanda menjulukinya sebagai de dolle hertog (pangeran sinting). Akhir hayat raja ini sendiri meninggal karena berperang melawan kerajaan tetangganya Nepo, sehingga diberi gelar anumerta Matinroe ri Musuna yang berarti meninggal dalam peperangannya.

Pembantaian Orang Cina di Batavia
Pembantaian Orang Cina di Batavia
Raja Tanete ini hanya gemar berperang, bahkan menolak bayaran yang diberikan kepada dirinya dari pihak Belanda. Ketika pasukan Tanete tiba di Jawa, mereka langsung dibawa ke Pekalongan, kemudian berperang melawan orang Cina. Orang Cina kemudian menyingkir dan bersembunyi di atas pegunungan, setelah itu pasukan Tanete kembali ke Semarang.
Selang beberapa tahun kemudian pasukan Belanda bersama dengan Pasukan Tanete berangkat ke Demak untuk menyerang Orang Cina. Orang Cina kemudian kalah perang, sehingga Demak dapat diduduki. Orang Cina kemudian masuk ke Rembang Kudus, namun Rembang kembali diserbu, dan orang Cina kembali lagi kalah perang, sehingga Kudus dapat diduduki.
Banyak Cina Rembang yang tertangkap dan dipenggal hidup-hidup oleh pasukan Tanete ketika itu. Pasukan Tanete juga sempat melucuti dan mengambil alih beberapa pucuk meriam sebagai pampasan perangnya di Kudus.
Orang Cina kemudian memilih berkumpul di Juwana Pati. Sementara itu raja Tanete kembali ke Semarang, sebab ia jatuh sakit. Oleh karena itu hanya Kapitang Matoae (kapten kepala) saja bersama dengan orang Belanda yang tinggal, yang kemudian menyerang Juwana, dan pasukan Cina dikalahkan lagi. Kemudian orang Cina mengungsi ke Surakarta, dan berkumpul kembali bersama kaptennya yang bernama Kapitan Sepanjang.
Setelah cukup dua bulan berselang, Surakarta direncanakan akan diserang kembali. Setelah sampai waktu yang telah disepakati, Arung Tanete kemudian berangkat bersama pasukan Belanda, mereka kembali bertemu dengan pasukan Cina di Muara. Namun sayangnya karena belum juga terjadi kontak senjata, pasukan Cina kembali melarikan diri.

Ketika orang Cina tahu bahwa raja Tanete juga ikut dalam rombongan tersebut, maka orang Cina segera membangun benteng dari pohon kelapa. Pasukan Cina kemudian memilih untuk berpangkalan di Ampel dan mendirikan lagi benteng pertahanan di sana.

Namun, pasukan Cina yang ada di Ampel kembali diserang, dan belum sempat melakukan perlawanan, mereka kembali melarikan diri ke Boyolali, kemudian masuk ke Surakarta untuk melapor kepada Susuhunan dan Kapten Sepanjang. Pasukan Belanda dan Tanete ikut masuk menyerbu Surakarta, namun pasukan Cina dan Pasukan Surakarta kembali melarikan diri meninggalkan Surakarta.

Selanjutnya Susuhunan bersama dengan kapten Cina berkumpul di atas gunung. Pasukan Tanete dengan Belanda kembali bersiap untuk menyerang, akhirnya mereka kembali bertemu di sebuah lembah yang bernama Sanggoh. Pasukan Tanete berhadapan langsung dengan Kapten Orang Cina, namun orang Cina kembali dapat dikalahkan.
Setelah pertempuran di lembah Sanggoh, pasukan Belanda dan Tanete kembali ke Surakarta. Selang beberapa waktu, pasukan Tanete berangkat kembali ke Mataram untuk bertempur. Pasukan Cina kemudian bersembunyi dan berkumpul di atas pegunungan.

Setelah itu ada kabar yang tersiar bahwa Kapten Sepanjang ingin kembali ke Banjarmasin karena tidak berani lagi melawan Kompeni yang selama ini dibantu oleh pasukan Tanete. Setelah itu keseluruh bala tentara pasukan Belanda dan Tanete kembali ke Surakarta kemudian ke Semarang.

Maka selesailah tugas pasukan Tanete membantu Belanda dalam upaya untuk memadamkan pemberontakan di Jawa, tidak lama berselang datang pula utusan jenderal dari Batavia kepada tuan Komisaris Belanda agar lencana dari emas disematkan kepada raja Tanete sebagai tanda jasa karena telah mbantu Belanda.

2 Komentar

Tuliskan Komentar