Kuno Mondial Nasional

4 Kesultanan Besar Melayu di Era Islam

Dalam historiografi Asia Tenggara, diterima secara luas bahwa sejarah Asia Tenggara pada umumnya dibagi menjadi dua periode yaitu, Asia Tenggara pada masa Hindu-Buddha dan periode Asia Tenggara masa Islam sebelum datangnya era Kolonial.

Penyebaran Islam ke Kepulauan Asia Tenggara di mulai sekitar akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14. Kedatangan Islam menandai awal menculnya imperium Islam di dunia melayu serta berkembang menjadi kesultanan yang cukup besar. Beriku ini empat Kesultanan besar yang pernah berdiri dan berjaya di dunia Melayu:

1. Kesultanan Malaka
Kerajaan ini tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah, namun keberadaan kerajaan ini dapat diketahui melalui Sulalatus Salatin dan kronik Tiongkok masa Dinasti Ming.

Dari perbandingan dua sumber ini masih menimbulkan kerumitan akan sejarah awal Malaka terutama hubungannya dengan perkembangan agama Islam di Malaka serta rentang waktu dari pemerintahan masing-masing raja Malaka.

Berdasarkan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayudi Singapura, kemudian serangan Jawa dan Siam menyebabkan pusat pemerintahan berpindah ke Malaka.

Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya. Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kaisar Tiongkok menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Malaka, kemudian tercatat ada sampai 29 kali utusan Malaka mengunjungi Kaisar Tiongkok.

Baca juga: Revolusi Cina: Berakhirnya Era Dinasti dan Munculnya Negara Republik

Sampai tahun 1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan Dinasti Ming, armada Ming berperan mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka yang sebelumnya sering diganggu oleh adanya kawanan perompak dan bajak laut. Di bawah perlindungan Ming, Malaka berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir barat Semenanjung Malaya yang tidak dapat disentuh oleh Majapahit dan Ayutthaya.

Sulalatus Salatin juga mengambarkan kedekatan hubungan Malaka dengan Samudera Pasai, hubungan kekerabatan ini dipererat dengan adanya pernikahan putri Sultan Pasai dengan Raja Malaka dan kemudian Sultan Malaka pada masa berikutnya juga turut memadamkan pemberontakan yang terjadi di Pasai. Ma Huan juru tulis Cheng Homenyebutkan adanya kemiripan adat istiadat Malaka dengan Pasai serta kedua kawasan tersebut telah menjadi tempat permukiman komunitas muslim di Selat Malaka.

Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di sekitarnya. Kerajaan Malaka kemudian tetap bertahan sampai masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah.

Sultan Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugal di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan pada 24 Agustus 1511 Malaka jatuh kepada Portugal. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pemerintahan baru.

2. Kesultanan Berunei
Silsilah kerajaan Brunei didapatkan pada Batu Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei yang dimulai dari Awang Alak Betatar, raja yang mula-mula memeluk agama Islam (1368) sampai kepada Sultan Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19, memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807).

Catatan tradisi lisan diperoleh dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari perkataan baru nah, yaitu setelah rombongan suku Sakai yang dipimpin Pateh Berbai pergi ke Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negeri baru.

Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang memiliki kedudukan sangat strategis yaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk transportasi dan kaya ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai, maka mereka pun mengucapkan perkataan baru nah yang berarti tempat itu sangat baik.

Islam mulai berkembang dengan sangat pesat di Kesultanan Brunei sejak Syarif Ali diangkat menjadi Sultan Brunei ke-3 pada tahun 1425 M karena sultan yang sebelumnya menikahkan puterinya dengan Syarif Ali.

Baca juga: Kota Barus: Gerbang Masuknya Islam di Nusantara

Sultan Syarif Ali adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan Cucu Rasulullah Shalallahualaihi Wassallam yaitu Amirul Mukminin Hasan sebagaimana yang tercantum dalam Batu prasasti dari abad ke-18 M yang terdapat di Bandar Sri Begawan, Brunei. Keturunan Sultan Syarif Ali ini kemudian juga berkembang menurunkan Sultan-Sultan disekitar wilayah Kesultanan Brunei, yaitu menurunkan Sultan-Sultan Sambas dan Sultan-Sultan Sulu.

Kata Darussalam, istilah dalam bahasa Arab untuk “tempat yang damai” atau “Rumah Keamanan,” disematkan pada abad ke-15 oleh Sultan ke-3, Syarif Ali, untuk menegaskan Islam sebagai agama negara, serta untuk meningkatkan penyebarannya.

Kerajaan ini juga pernah menjadi taklukan Kerajaan Majapahit yang berpusat di pulau Jawa. Nama Brunai tercantum dalam Negarakertagama sebagai daerah bawahan Majapahit. Kekuasaan Majapahit tidaklah lama karena setelah Hayam Wuruk wafat Brunai membebaskan diri dan kembali sebagai sebuah negeri yang merdeka dan pusat perdagangan penting.

Pada awal abad ke-15, Kerajaan Malaka di bawah pemerintahan Parameswara telah menyebarkan pengaruhnya dan kemudian mengambil alih perdagangan Brunei. Perubahan ini menyebabkan agama Islam tersebar di wilayah Brunei oleh pedagangnya pada akhir abad ke-15.

Empat kesultanan besar di Asia Tenggara (Malaka, Brunei, Aceh, dan Gowa).

Kejatuhan Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, telah menyebabkan Sultan Brunei mengambil alih kepemimpinan Islam dari Melaka, sehingga Kesultanan Brunei mencapai zaman kegemilangannya dari abad ke-15 hinga abad ke-17 sewaktu memperluas kekuasaannya ke seluruh pulau Kalimantan dan Filipina.

Pada Tahun 1839, James Brooke dari Inggris datang ke Serawak, Kalimantan dan menyerang Brunei, sehingga Brunei kehilangan kekuasaannya atas sebagian besar wilyah Kalimantan, sehingga wilayah kekuasaannya menyusut jadi kecil dan bertahan hingga sekarang.

3. Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama.

Baca juga: Berapa Lama Perang Aceh Berlangsung?

Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armadanya. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah.

Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan. Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh.

Pengaruh dan kekuasaan Kesultanan Aceh terus menurun sampai terjadinya Perang Aceh yang berlangsunh sangat lama. Perang Aceh-Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.

4. Kesultanan Gowa
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Samata, Bissei, Sero dan Kalling. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa.

Cerita dari para pendahulu di Gowa mengatakan bahwa Tumanurung merupakan pendiri Kerajaan Gowa pada awal abad ke-14. Tomanurung tersebut dikenal dengan nama Tomanurung Bainea karena sosoknya yang merupakan seorang perempuan.

Pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertahta raja Gowa ke-9, bernama Tumapa’risi’ Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa “daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil”. Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa’risi’ Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasiantar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga memperluas wilayah kekuasaan.

Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya pada abad ke-16 dan ke-17.

Baca juga: Benteng Somba Opu, Pertahanan Terakhir Kesultanan Gowa

Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa’risi’ Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kesultanan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipallangga, raja yang memerintah setelahnya.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, VOC berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan VOC.

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia.

Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan VOC, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat milik Kesultanan Gowa yaitu Benteng Somba Opu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan.

Tuliskan Komentar