Barru Raya Tokoh

Riwayat La Wana Datu Botto Arung Batu Pute

Di Kabupaten Barru, terdapat sebuah desa yang bernama Desa Batu Pute, desa ini masuk kedalam administrasi Kecamatan Soppeng Riaja. Jauh sebelum Kabupaten Barru terbentuk, Batu Pute merupakan sebuah kerajaan vassal atau lili yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Soppeng Riaja. Salah seorang tokoh yang pernah berkuasa di Batu Pute ialah La Wana Datu Botto. Siapa sebenarnya sosok La Wana Datu Botto ini? Dan bagaimana ia memerintah di Batu Pute?

Asal Usul La Wana Datu Botto.
La Wana Datu Botto adalah cicit dari We Tenrileleang Pajung Luwu XXI/XXIII sekaligus Datu Tanete dari pernikahannya dengan La Mallarangeng Datu Lompulle Datu Marioriawa. Dari pernikahan We Tenrileleang dengan Mallarangeng, mereka dikaruniai tujuh orang anak antara lain Batari Toja Datu Bakke, menikah dengan La Tenri Peppang Daeng Paliweng Pajung Luwu XXIV.

Kedua Tenri Pada Daeng Maleleng, menikah dengan Arung Jampue. Ketiga, Patimang Menyara Asi Matinroe ri Segeri, menikah dengan Karaeng Sumena. Keempat, I Penangngareng Datu Marioriwawo, menikah dengan La Sunra Datu Lamuru.

Kelima, La Tenri Sessu Opu Cenning Arung Pancana, menikah dengan I Pada Petta Punna Bolae Petta ri Silaja, selain itu juga beristrikan Tenri Lawa Besse Peampo Arung Bonto Use. Keenam, La Manrulu To Kali Datu Lompulle, menikah dengan Yabeng Datu Mario Attang Salo. Dan yang ketujuh La Maddusila Karaeng Tanete, menikah dengan We Tenriseno Datu Citta.

Baca juga: Riwayat Ratu Tanete We Tenriolle

Dari ke tujuh putra-putri We Tenrileleang tersebut di atas salah satunya adalah Penangngareng Datu Marioriwawo yang menikah dengan La Sunra Datu Lamuru yang juga merupakan kakek dan nenek dari La Wana Datu Botto.

Dari pernikahanya I Penangngareng Datu Marioriwawo dengan La Sunra Datu Lamuru, dikaruniai beberapa orang anak, diantaranya La Tenri Datu Botto, Mappaware Datu Lamuru, Mauraga Daeng Maliunga Datu Marioriwawo, La Potto Bune Petta Janggo Pute Datu Ri Bakke matinroe ri Anakketeng, dan La Makkawaru Arung Atakka.

La Tenri Datu Botto menikah dengan Patimang Daeng Baji Arung Batu Pute putri dari La Wawo Addatuang Sidenreng XIII dan lahirlah tiga orang putra diantaranya La Wana Datu Botto.

Masa Pemerintahan La Wana Datu Botto di Botto, Soppeng.
La Wana memerintah di Kerajaan Botto, Soppeng, yang diwariskan oleh ayahnya La Tenri Datu Botto, sekitar tahun 1825 M-1840 M. Dalam masa pemerintahannya itu peperangan antara Bone dan Gowa masih berlangsung. Soppeng pada masa itu merupakan sekutu dari Kerajaan Bone sehingga mau tidak mau kerajaan-kerajaan yang termasuk kerajaan lili atau bagian dari kerajaan Bone harus ikut berperang melawan Kerajaan Gowa.

Pada saat itu La Wana kurang setuju atau menentang peperangan itu, karena akibat dari peperangan tersebut rakyat yang tidak berdosa menjadi korban dan hanya akan memberikan kerugian dikedua belah pihak. Pada masa pemerintahannya di Kerajaan Botto, Soppeng, beliau menikah dengan I Tungke Datu Marioriwawo puteri dari La Rumpang Mega Datu Lamuru dengan Isterinya Pancaitana Arung Akkampeng.

Baca juga: Riwayat Puang Ripakka dan Asal-usul Kampung Pakka di Barru

Dari pernikahannya itu dikaruniai beberapa putra diantaranya Abdul Gani Baso Batu Pute Datu Soppeng XXXIV, Walinono Datu Botto dan Tenri Leleang Besse Mario Arung Akkampeng. Walinono menggantikan La Wana memerintah di Kerajaan Botto dan selanjutnya digantikan oleh putranya La Wawo Datu Botto.

La Wana pindah ke Batu Pute (sekarang Soppeng Riaja, Kabupaten Barru). Di tempat itu beliau melanjutkan pemerintahan yang diwariskan dari ibunya Patimang Daeng Baji Arung Batu Pute. Selain pernikahannya dengan I Tungke Datu Mario Riwawo beliau juga menikah dengan Mattingara Arung Palanro Arung Guru Sidenreng dan I Makkawaru. Selain itu beliau masih memiliki istri yang lain dan memiliki putera dari pernikahannya itu.

Dari perkawinannya dengan Mattingara Arung Guru Sidenreng, dikaruniai tiga orang anak yaitu Parellei Petta Leppanae Arung Palanro Petta Manyoroe (Petta dengan pangkat Mayor), Ippung Arung Guru Sidenreng dan Uneng.

Masa Pemerintahan La Wana Datu Botto di Batu Pute, Soppeng Riaja.
Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa alasan beliau meninggalkan Kerajaan Botto dan hijrah ke Kerajaan Batu Pute (sekarang dikenal dengan nama Desa Batu Pute, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru) adalah karena beliau tidak setuju dengan peperangan dan tidak sampai hati melibatkan rakyatnya dalam peperangan tersebut. Kedua, karena putra beliau Walinono Datu Botto sudah cukup umur dan sudah pantas meneruskan pemerintahan di Kerajaan Botto. Ketiga, beliau meneruskan pemerintahan di Kerajaan Batu Pute yang diwariskan oleh Ibunya Patimang Daeng Baji Arung Batu Pute.

Makam La Wana Datu Botto. Foto: Erik Hariansah

Dalam masa pemerintahannya di Kerajaan Batu Pute, beliau juga membantu istrinya Mattingara Arung Guru Sidenreng melaksanakan pemerintahan di Kerajaan Palanro dan Sidenreng. Beliau memerintah di Kerajaan Batu Pute dari tahun 1840 M hingga akhir hayatnya dengan aman dan damai.

Hubungan La Wana Datu Botto Dengan Kerajaan-kerajaan Sekitarnya.
Di Kerajaan Luwu. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa La Wana adalah cicit dari Pajung We Tenrileleang Pajung Luwu XXI/XXIII, jadi sudah jelas bahwa La Wana adalah keturunan langsung dari Pajung Luwu, darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah Luwu yang berasal dari nenek buyutnya.

Di Kerajaan Soppeng. Dari kakek buyutnya Mallarangeng Datu Lompulle Datu Marioriawa juga mengalir darah Soppeng. Jadi hubungannya dengan kerajaan Soppeng sangat kental apalagi beliau memerintah di Kerajaan Botto, Soppeng dan beliaupun mempunyai keturunan di Kerajaan tersebut yang menjadi penerus pemerintahannya bahkan sampai sekarang tidak bisa dipungkiri bahwa keturunan beliau banyak memegang jabatan penting di daerah Soppeng.

Di Kerajaan Wajo. Dalam sejarah Wajo, salah satu cucu dari La Wana yang terkenal ialah La Tenri Oddang Datu Larompong Arung Peniki yang dilantik menjadi Arung Matoa Wajo pada tanggal 22 Desember 1926, beliau adalah putra Walinono Datu Botto dengan istrinya Imappanyiwi Datu Watu Patola Wajo.

Baca juga: Riwayat Petta Tomaburu Limmanna dan Perubahan Nama Kerajaan Agangnionjo Menjadi Tanete

Beliau menata kota Sengkang dan menata tatanan pemerintahan di daerah tersebut, beliau memangku jabatan hingga akhir hayatnya, beliau wafat pada tanggal 14 Januari 1933. Selanjutnya beliau digantikan oleh H. Andi Mangkona Datu Marioriwawo, putra Lawawo Datu Botto, yang juga putra Walinono Datu Botto, dengan kata lain Beliau adalah cicit dari La Wana.

Masa jabatan beliau sebagai Arung Matoa Wajo sejak dilantik pada tanggal 23 April 1933 dan berhenti dengan hormat dari jabatannya pada tanggal 21 November 1949. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa hubungan La Wana dengan Kerajaan Wajo begitu erat.

Di Kerajaan Batu Pute, Palanro, dan Sidenreng. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa beliau adalah putra dari Arung Batu Pute, Patimang Daeng Baji sehingga dia berhak meneruskan pemerintahan di Batu Pute.

Selain itu karena beliau menikahi Mattingara Arung Palanro sekaligus Arung Guru Sidenreng maka beliau turut membantu istrinya melaksanakan pemerintahan di Kerajaan tersebut dan kemudian diwariskan kepada anak-anaknya yakni Parellei Petta Leppanae Arung Palanro Petta Manyoroe mewarisi Kerajaan Palanro dan memerintah di kerajaan tersebut, sementara La Ippung Arung Guru Sidenreng, sesuai dengan gelarnya melanjutkan pemerintahan di Kerajaan Sidenreng.

Ketika La Wana mangkat, mendapat gelar Anumerta Matinroe ri Sogae. Sogae adalah sebuah perbukitan di sebelah timur dusun Batu Pute sekarang, di tempat itulah beliau dimakamkan.

Kepustakaan:
          Silsilah A. Pabeangi (Datu Marioriwawo).
          M.D, Sagimun. Sultan Hasanuddin Ayam Jantan Dari Timur, Jakarta : Balai Pustaka.
          __________. 2009. Kerajaan Nepo di Sulawesi Selatan : Sebuah Kearifan Lokal dalam Sistim Politik Tradisional di Tanah Bugis. Ringkasan Hasil Penelitian. Makassar: Kerjasama Pusat Kajian Multikultural dan Pengembangan Regional Universitas Hasanuddin dengan Dinas Komunikasi Informasi Kebudayaan Pariwisata Kabupaten Barru.
          Palisuri, H. Udhin. 2003. Menyulam Benang Sejarah Tanah Wajo Kutai Kertanegara. Wajo: Kantor Pariwisata Kabupaten Wajo.

Narasumber:
          Andi Naki dan Tassakka (Cucu dan Menantu La Wana Datu Botto).
          Andi Munaham Hamid (Cicit La Wana Datu Botto).
          Mahmud Andi Naki (Mantan Penilik Kebudayaan Kecamatan Mallusetasi & Cicit La Wana Datu Botto).

Rujukan: http://sangsejarawan.blogspot.com/2014/06/sejarah-singkat-lawana-datu-botto-asal.html

7 Komentar

  • Batu Pute adalah bekas daerah bekas wilayah pemerintahan sebelumnya ade patappuloe Nepo. Antara Batu-pute dan Cilellang adalah satu komunitas, meskipun dibelah sebuah sungai. Keduanya terpisahkan karena pertimbangan administrasi politik kolonial tebentuknya wilayah administrasi Soppeng Riaja dan Mallusetasi dengan memilih sungai sebagai perbatasan wilayah. Menyebut nama Batu Pute jangan terlupakan Cilellang، misalnya Arung Batu-Pute/Cilellang tradisionalnya hanya satu.

  • Batu Pute bagi Kerajaan Soppeng adalah daerah perluasan baru sebagai pemberian Kerajaan Bone. Sebelumnya adalah daerah perbatasan wilayah antara Kiru-kiru dan Nepo yang terkena hukuman pelanggaran perang menyebabkan wilayah ini bersama Siddo/Laboso-Mangkoso harus diserahkan takluk kepada Kerajaan Bone.
    Batu Pute, Siddo dan Laboso Mangkoso, statusnya berbeda dengan Kiri-kiru, Ajjakkang, Nepo dan Balusu sebagai disebut Kerajaan2 Lili berlindung dibawah Kerajaan Induk. Maka terkirim Raja di wilayah tersebut merupakan perpanjangan Raja Induk sebagai Gebernur bergelar Petta atau Sulle-datu.

  • Batu Pute bagi Kerajaan Soppeng adalah daerah perluasan baru sebagai pemberian Kerajaan Bone. Sebelumnya adalah daerah perbatasan wilayah antara Kiru-kiru dan Nepo yang terkena hukuman pelanggaran perang menyebabkan wilayah ini bersama Siddo/Laboso-Mangkoso harus diserahkan takluk kepada Kerajaan Bone.
    Batu Pute, Siddo dan Laboso Mangkoso, statusnya berbeda dengan Kiri-kiru, Ajjakkang, Nepo dan Balusu sebagai disebut Kerajaan2 Lili berlindung dibawah Kerajaan Induk. Maka terkirim Raja di wilayah tersebut merupakan perpanjangan Raja Induk sebagai Gebernur bergelar Petta atau Sulle-datu. Dengan demikian, di wilayah seperti Batupute/Cilellang, Siddo/Laboso Mangkoso berada di pesisir pantai Kiru-kiru dan Nepo dijadikan wilayah miliknya Kerajaan Soppeng bersifat langsung, statusnya telah sama dengan wilayah2 sekarang ini sebagai wilayah di Kabupaten Soppeng.

  • Pada masa penjajahan, di beberapa wilayah sebagai di atas oleh pemerintah Belanda melakukan kebijakan administrasi pembagian wilayah disebut selfbestuur Soppeng Riaja Ibu Kota di Mangkoso berada di bawah kordinadi Onderafdeling Barru di Sumpang Minangae. Maka pembagian wilayah bersifat langsung miliknya Kerajaan Soppeng diselesaikan dalam pertemuan di Siddo antara Raja Soppeng diwakili Lasessu Datu Bakke, dan pemerintah kolonial Barru diwakili oleh Ade Bolong Puang Ade. Terjadilah kesepakatan sebagai wilayah termasuk Kerajaan Soppeng di Soppeng Riaja diserahkan berada untuk bergabung di bawah administrasi kolonial Onderafdeling Barru.

  • Terbentuknya sebagai bagian wilayah di Kabupaten disebut Soppeng Riaja dan Mallusetasi adalah institusi bayangan pada masa kolonial bersifat konfederasional/ passiajingeng karena gabungan dari berbagai wilayah milik adat berbeda2 , kemudian institusinya diperpanjang sampai hari ini yang belum disadari pemerintah daerah bahwa semuanya ini peninggalan jajahan seharusnya dihapus atau dipangkas, pemerintah jangan ikut2an Belanda karena hasilnya sama saja. Dengan demikian, dimana sesungguhnya kemerdekaan, kalau bukan kemerdekaan adalah kembali kepada Adat dan bekerja memungkas peninggalan kolonial yang merata di seluruh wilayah Kabupate Barru.

  • Soppeng Riaja terbentuk menyerupai kerajaan disebut Rapang bahasa Bugis artinya bayangan atau boneka kolonial, dikendalikan oleh keluarga membentuk dinasti diberi gelar tradidional Arung Soppeng Riaja.
    Soppeng Riaja sebaga nama distrik/swapraja dan kecamatan tidak berarti sebuah kerajaan Bugis/adat pernah berdiri, melainkan kerajaan dalam administrasi kolonial sebagai bayangan disebut Mangke’ bhs Bugisnya. Dinasti kolonial ini, sejarahnya dipimpin oleh Latobo keluarga keturunan berasal dari keluarga To Silaja dan Arung Lenrang, berikutnya diganti oleh kedua Putranya dalam hubungan saudara berbeda Ibu; La Maddiawe dan La Dagong Dg. Ngemba sebagai Arung memimpin Swapraja Soppeng Riaja II & III. Di dalam keluarga mereka berbudaya disebut dan disapa A. Tobo Petta Coa, A. Maddiawe Petta Lawallu, dan H.M. Yusuf A. Dagong Petta Soppeng.

  • Sepertinya Pak Andi M. Anwar Zaenong banyak faham terkait Datu Botto La Wana, Pak Andi kami lagi menyusun buku asal usul beserta keturunan beliau hingga saat ini. bisakah kami menjadikan Pak Andi sebagai respondent/sumber data kami?

Tuliskan Komentar